logo mak-adang.com

Kisah Surau Tuo: KATA PENGANTAR

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     10/02/2025    Buku,Kearifan Lokal   317 Views
Kisah Surau Tuo: KATA PENGANTAR

Mak-adang hadir dalam Peluncuran dua buku karya Ampera Salim dan Fuad Nasar, 14 Februari 2025 ini. Berikut dimuat lengkap kata pengantar buku kisah surau tuo yang dimuat bersambung tempo hari. Selamat mengikuti.

Selama kuliah di Padang (1989-1992) saya tinggal di asrama mahasiswa Yayasan Amal Saleh (YAS) yang didirikan Dr. Mochtar Naim. Selama penataran P4, saya tinggal di Wisma 1 (dari 4 Wisma ikhwan akhwat) , di samping Masjid Baitussalam, Jalan Cenderawasih, Air Tawar.

Setelah itu pindah ke Jalan Perkutut, rumah empat kamar milik Prof. Azmi. Tanah di sekitarnya dibangun Gedung TK dan sekaligus disebut Kantor YAS. Berhubung ada wisma baru warna oren, di depan Unit Praktik Lapangan UNP, kala itu, maka kami beberapa orang pindah ke sana. Lebih dekat ke kampus, tapi agak jauh untuk membeli ‘samba’ ke Sejahtera, rumah makan favorit, depan rumah Pak Mochtar.

Baco:  Kisah Surau Tuo (20): INI KATA SOSIOLOG TERKEMUKA ASAL MINANG TENTANG ‘MAMAKIAH’

Tak lama kemudian, saya pindah ke Islamic Center Al-Qud’s yang dibangun dan diresmikan oleh mantan Perdana Menteri RI. Dr. Muhammad Natsir, sampai lulus tahun 1994.

Lama berselang, saya mendapati 10 tahun belakangan, asrama yang notabene adalah rumah kos, atau apartemen, seperti Afiq putra saya di Turki, berubah sebutan menjadi Surau. Hah?

Saya kira sebagai sosiolog terkemuka tentang Minangkabau, Pak Mochtar punya alasan kuat menyebut rumah kos menjadi surau. Ini mengingatkan masa kecil saya di Nagari Keramat, Tanah Datar. Selain ada rumah gadang, lapau, Masjid Raya, ada surau di Sungai Jariang. Ini sudah saya kisahkan dalam novel Mak Adang 1.

Di Surau Jariang, sampai saya kuliah, tinggal Datuk Pakiah Zainuddin murid Buya Mahmud Yunus, Sungayang, Penerjemah Al-Qur’an pertama dan hingga kini kamus Arab Indonesia karangannya masih dipakai di Pondok pesantren group Gontor. Kini nama Mahmud Yunus dilekatkan nama menjadi UIN Batusangkar. Namun secara keseluruhan, saya tidak melihat nyata fungsi surau, kecuali  yang dilebih-lebihkan, seperti dalam kajian dan teori atau tulisan di jurnal.

Juo : EKA PUTRA SABANA PANDEKA : SELAMAT ‘PAK BUP’ PERIODE DUA

Tidak ada guru mengaji, karena semua mengaji ke Masjid Raya. Tidak ada belajar silat, karena tidak ada guru, dan umumnya silat Minang diajarkan secara sembunyi-sembunyi. Silat tidak terbuka seperti banyak bela diri saat ini. Belajar adat dan agama ada sedikit. Saya pernah menyaksikan teman sebaya mencobakan alua makan. Berisi petatah-petitih tentang tata cara pidato adat menyambut tamu dalam baralek/pesta.

Tidak ada pelajaran agama yang teratur, terstuktur apalagi mendalam, seperti kita membayangkan di Surau Lubuk Bauak, yang diasuh ayah Buya Hamka, Haji Rosul. Maknanya bila sudah belajar dari Haji Rosul, memperkenalkan diri sebagai muridnya saja orang sudah hormat.

Di Surau Jariang hanya ada sedikit jamaah tarawih/saat Ramadhan. Orang pergi mandi pagi ke pancuran lokasi di depan mihrabnya. Lalu sholat subuh sendiri-sendiri. Tak jarang saat hari sudah tinggi. Surau Jariang dirawat dirapikan dari swadaya perantau, sesekali menjadi tempat istirahat siang, saat satu teman saya tidak bisa tidur, karena rumahnya sedang ramai.

Juga fungsi surau yang paling bersejarah tempat anak laki-laki tidur di malam hari, juga tak saya temui kala itu.

Pada waktu Dhuha ini (11/2/25) saya menemukan artikel tentang surau di Jurnal TADAYYUN: Journal of Religion, Social and Humanities Studies, Vol. 2, Nomor 1 Tahun 2024; 89

Di sini, Sovia Novianti (2021) menulis: “.. seiring dengan perkembangan zaman, Surau yang dulunya sebagai tempat berkumpulnya para pemuda Minangkabau untuk melakukan berbagai kegiatan dan menimba ilmu kini
mulai memudar .”

Khusus yang saya lihat, fungsi surau memudar itu sudah terjadi sejak setengah abad lalu, tahun 1970-an. Bukan kini, 3-5 tahun terakhir.

Mengapa?
Memudarnya fakta tentang fungsi surau, walaupun setiap calon kepala daerah tetap berkampanye Minangkabau kembali ke surau, menurut saya, disebabkan kesalah-pahaman tentang Surau secara struktural, bukan kultural dan historis/sosiologis.

Orang yang terbuai bicara surau penghasil ulama besar. Surau tempat belajar adat budaya, akhlak dan sopan santun. Surau juga tempat berlatih silat. Itu hanya konsep, bukan struktural.

Semua fungsi surau fenomenal yang dianggap hilang karena orang melupakan surau hidup karena guru agama. Guru yang paham adat istiadat serta ketokohan dan kecintaan kepada kampung halaman, di tingkat lokal sekalipun. Gurulah yang penuh pengabdianlah yang menghidupkan surau, sehingga anak-anak terdidik akhlaknya. Ia juga menjadi ninik-mamak bagi kaum. Tempat orang berkeluh-kesah tentang masalah hidup bersama. Yang awam beroleh ilmu, yang panik beroleh solusi, yang terzolimi beroleh keadilan dan yang lemah mendapat perlindungan.

Saat guru-guru yang hebat berangkat dari kampung, guru agama seperti Datuak Pakiah berpulang, sebagian ada yang membawa anak kemenakan ke rantau, kampung di Minangkabau seperti kehilangan ruhnya.

Akibatnya sarau hanya ada dalam film, dalam kampanye, dalam buku tokoh yang penasaran, juga dalam gurauan anak muda tahun 80-an. Anak kini mungkin belum pernah mendengar istilah mancik (tikus) surau. Atau nasi lamak di surau dan lain-lain.

Dalam buku Kisah Surau Tuo karya Ampera Salim SH, M.Si., Datuk Patimarajo ini, saya menemukan surau yang sesungguhnya meski kini wujudnya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum, Padang Magek, Tanah Datar. Di sini ‘sarau’ itu berdiri tegak.

Ada guru besar Tengku Jafar yang penuh pengabdian. Ada belajar yang teratur dan teratur. Bahkan pada Sabtu (14/2/25) ini ada pelantikan 10 Ungku Baru yang telah lulus dan siap dilepas ke masyarakat.

Laporan rutin media sosial Darul Ulum saya baca akan merayakan ‘wisuda’ didikan ‘sarau’ ini dengan menyembelih dua ekor kerbau, dan dihadiri 1.000 orang guru, santri, dan masyarakat serta alumni.

Adanya surau dalam arti sesungguhnya ini yang mendorong saya memuat tulisan Datuk Ampera di Mak-adang.com sejak setahun lalu, secara berseri tentang Kisah Surau Tuo ini. Pembacanya terus meningkat.

Seiring itu, juga sudah diterbitkan oleh Andalas University Press, buku karya Fuad Nasar, berjudul : “Orang Minang: Ba-Nagari dan Ba-Negara,,” terbitan kedua, setelah judulnya di koreksi oleh Pak Taufik Ismail. Buku ini juga kumpulan tulisan yang terbit di Mak-adang.com dan kata pengantar dari Gubernur Sumbar, Buya Mahyeldi.

Saya bersyukur dalam usia dua tahun Mak-adang.com telah menyumbangkan dua buku untuk Minangkabau.

Saya menyampaikan terima kasih atas kepercayaan dan ucapan selamat kepada Datuk Ampera dan Pak Fuad Nasar, seorang birokrat yang intelektual.

Sampai Jumpa di Darul Ulum seiring berakhirnya masa belajar dan pengabdian putra kedua saya, Aziz Mulya. Ucapan terima kasih kepada Buya Jafar, semua Ungku sekaligus senior bagi Aziz. Semua santri dan ibu-ibu yang peduli. Juga teman baik saya asal Padang Magek al uni Nuraini dan Da Onnoveri.

Teriring maaf dan selamat puasa.

Wassalam

Dr. Andi Mulya S.Pd., M.Si.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *