Mak-adang.com ( JAKARTA).
Ia dikenal dengan nama Tayap. Walau saya tetap memanggil Apra. Begitu tau ia sendiri memanggil diri sebagai Tayap, saya baru ikut ber Tayap saja. Suprapto di group menggoda dengan Mak Ayap.
Ia adalah salah satu teman yang masuk menjadi buku Milad saya ke 55 di Januari nanti. Dia adalah kawan yang tak lekang karena panas. Juga tak lapuk karena hujan.
Apapun yang terjadi ia tak berubah. Tak berubah adalah syarat kita bertahan dalam perkawanan. Atau bisa sebaliknya, bisa berpisah bila tak berubah buruknya.
Yang paling saya ingat di tahun 1993 saya dan Tayap menjadi panitia Pelatihan Pers Mahasiswa Tingkat Lanjut Nasional di IKIP Padang.
Usai acara di Balai Penetaran Guru (BPG), dalam komplek UNP sekarang, peserta diajak ke Bukittinggi. Menjelang magrib balik lagi ke Padang. Perpisahan.
Satu rombongan dari Universitas Riau kala itu ingin langsung balik ke Pekanbaru. Mereka minta diturunkan di kantor bus di daerah Cingkariang untuk menuju Pekanbaru. Saya dn Tayap turun melepas tiga teman itu. Sambil membawakan tasnya ke seberang jalan.
Namanya orang jahil ada dimana-mana. Belum sempat kami naik, ada satu yang mengomando supaya mobil terus melaju. Berangkat dan kami ditinggal.
Saya dan Tayap naik bus TES untuk menuju kampus di Air Tawar.
“Alah alaahh,” kata Tayap tak habis pikir. Entah pintar entah bodoh orang yang meninggalkan kami.
Saat itu Fasnie Aedil Chatra (Alfatihah) tampak sangat kesal mendengar cerita kami. Untung ada Apra. Jadi saya tidak sendirian.
Alumni.
Di Jakarta saya pertama berjumpa Tayap di Kebon Raya Bogor. Acara sederhana diikuti kawan yang aktif di kegiatan mahasiswa. Sekitar 15 orang. Setelah itu kami saling berkunjung waktu saya tinggal di Slipi dan Tayap di Bekasi.
Tahun 2002, saya menjadi Sekum alumni FPOK, dan untuk pertama kali mengadakan Halal bi Halal dengan mengundang pejabat kampus/fakultas. Kala itu jumlah alumni FPOK sudah terhimpun 100 an orang di Jakarta. Ada jasa baik Duipa (Al Fatihah) yang bekerja di Penerbit Erlangga dan mendata semua alumni/guru olahraga asal IKIP Padang.
Pada saat di Padang didirikan pengurus pusat alumni, polemik terjadi karena pemegang mandat untuk membentuk DPW Iluni tersebut dari FPTK, salah seorang senior Tayap.
Alumni FPOK kala itu merasa tidak fair karena FPOK lah yang punya alumni fakultas terkuat masa itu.
Sesuai komitmen rapat, karena saya Sekum, saya tidak menghadiri pembentukan DPW tersebut. Ini mungkin menjadi bibit hubungan yang renggang termasuk di internal di FPOK sendiri, terhadap para senior.
Di tengah seperti itu, komunikasi saya dengan Tayap, termasuk dengan beberapa teman FPTK yang diperkenalkannya, tetap terjalin. Bahkan Tayap tidak berubah saat saya memperkenalkan ke satu alumni untuk menyewa mobil pribadi Tayap. Ternyata teman itu pengusaha kicuah. Tayap rugi karena yang bersangkutan tidak bertangung-jawab.
Masa pun berganti. Saat pimpinan UNP berganti dari Prof. Yanuar Kiram ke Ganefri, Tayap termasuk orang yang makin aktif mengonsolidasi alumni. Seiring pemilihan pengurus alumni di Padang, di Jabotabek juga sudah berdiri alumni FPTK, baik DPP dan beberapa wilayah di seluruh Indonesia.
Tayap bagai tak berubah seperti di UNP dulu. Ia telat lulus karena aktif di kampus dan dua kali menjadi ketua panitia acara nasional di Padang. Salah satu adalah himpunan Senat Mahasiswa se Indonesia, tak salah tahun 1995, saat saya sudah tamat.
Di DPW Iluni, untuk alasan bersilaturahim, Tayap juga mengajak saya. Dan mengatakan akan menghubungi Jon Andi Oktaveri, pengurus wartawan Parlemen untuk menjadi Humas. Saya lebih mendukung JAO, kode wartawanya saat sama di Bisnis Indonesia untuk menjadi pengurus dimaksud.
Silaturahim
Tayap adalah teman yang tak pernah menolak bila saya ajak bertemu teman alumni yang datang ke Jakarta.
Tempo hari di Lenteng Agung saya menunggunya untuk berjumpa dengan Da Nal Yurnaldi Paduka Raja yang datang melepas Ayubi untuk S3 ke Korea. Tayap sempat menceritakan perjuangan pertama ke Jakarta, dibantu oleh banyak teman, saat uangnya hanya tinggal Rp 25.000 saja saat turun bus NPM di Rawamangun. (bagian ini akan saya lanjut muat di Mak-adang.com)
“Itu sebab saya karena banyak kawan saya bisa seperti sekarang,” katanya.
Ucapan itu ia praktikkan tanpa pamrih. Tayap sekejap saya sudah sampai di rumah saya di Duri Juni lalu saat ia mengantar keluarga besar istrinya baralek di Tanah Lapang, Simpang Padang, tak jauh dari rumah saya. Hanya ada mama dan papa saat itu.
Tayap menghormati orang tua. Ayahnya saat ini kurang sehat dan acara alumni sekaligus menjadikan ia sering pulang ke Payakumbuh. Perlakuannya ke mama dan papa menjadikan saya yakin orang baik.
Saya ingat Hadis Qutsi, roh itu bagai pasukan. Ia akan berkumpul dengan sifat yang sama. Ia menghormati mama menjadikan saya juga menghormatinya.
Di luar itu, dari ceritanya, secara tidak lansung, saya menangkap ada kesamaan lainnya saya dengan Tayap. Itu diceritakan di Taman Berdikari, Margonda saat berjumpa Da Nal. Ia tak tahan dengan kondisi birokrasi. Itu sebabnya protes sesuatu menyebabkan ia tak sampai seumur jagung menjadi kepala sekolah.
Kegagalan saya adalah mendorong Tayap menyelesaikan S2 di Muhammadiyah Jakarta.
Walau begitu, bagi saya tetap ia adalah teman yang sukses. Sukses untuk bermanfaat bagi orang banyak merujuk hakikat untuk apa manusia diciptakan..
Ahad (14/9/25) saya menghadiri pesta pernikahan Fakhri, anak pertamanya. Alhamdulillah lancar dan acaranya dihadiri banyak teman. Termasuk Dekan FT UNP.
Selamat Mak Ayap. Sukses sakinah mawadah warohmah untuk anak dan mantunya. Aamiin (***)
Amin ya rabbal alamin..