logo mak-adang.com

Catatan Harianku (482): 40 TAHUN MAMA DI DURI

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     2/03/2023    Kearifan Lokal   360 Views
Catatan Harianku (482):  40 TAHUN MAMA DI DURI

Mak-Adang.com melesatkan tulisan khusus di awal bulan Rajab ini. Sebentar lagi Ramadhan akan tiba. Orang akan menyambut dan merayakan hari Raya yang mubarrak.

Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah ibu, amak, ande, mama, mande kandung: orang tua kita. Dalam hal ini saya selalu ingat mama saya. Ini kisahnya saya tulis lima tahun lalu. Selamat memperbaiki hati. Juga membasahi mata bagi setiap jiwa yang punya kasih sayang.

***

40 TAHUN MAMA DI DURI

Sprint …Lintas Sumatera

Kandis – Duri.

Kemana-mana

Mama nyaman

Hidup Aman

Hidup barokah

Di depan adalah adikku.

Di belakang adalah mama.

Ternyata mamaku cantik sekali ya di usia 74 tahun.

Waktu mama berumur 34, atau 42 tahun lalu, mama mengajakku ke sawah di Siambek  arah Tabiang  Runtuah melintasi pematang yang tinggi.

Sawah masih basah…tapi belum ditanami. Seekor kerbau entah siapa yang punya. .. ditambatkan di tepi pematang. Jelas saya dan mama tidak bisa lewat.

Akhirnya mama turun menjulurkan kaki melompat sambil menyingsing kainnya, lalu setelah sampai di bawah… saya melompat ke pangkuannya… seketika pula, mama menggendong  saya lalu menyeberangkan  beberapa meter melewati kerbau yang menghalangi tadi… kemudian aku pula yang pertama dinaikkan ke pematang  kemudian mama meloncat lagi ke atas.

Hangatnya pangkuan mama… terus mengalir dalam nadi hingga kini.

Mama pun mengabdi penuh di rumah hanya membesarkan kami sejak pindah dari kampung. Dulu di kampung pernah mama  mengajar di SMP. Sebelumnya di Medan mama pernah bekerja di satu asuransi. sambil kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan yang kemudian tidak tamat.

Usai ke kampung  ‘Masa Bagolak‘ dan bertemu jodoh, mama sebentar di kampung,  kemudian ikut papa di Duri.

Duri itulah kota tempat kami dibesarkan.   Dan mama selalu ada di rumah. Tangan mama pula yang memasak cepat… termasuk berjualan makanan, termasuk membuat es… yang dititip konsinyasi ke lepau-lepau.

Makin lama ‘seruan’ untuk ke Duri semakin sering. Awalnya sekali enam bulan saya datang dari Jakarta-Duri.

Tapi tiap berpisah selalu mama penuh harap sambil berkat: “pulang pulang jugalah nak. ”  Saya selalu  mengiyakan setelah salaman dan berpelukan. Tangan saya lambaikan usai menutup pintu mobil adik untuk mengantar ke Pekanbaru.

Berpaling.  Sambil air mata pecah. Dan tak sanggup melihat lagi. Sewaktu seorang sahabat Bung Zulham beberapa lalu bercerita… seorang temannya malah pulang tiga s-mpai empat kali sebulan dari Jakarta Medan. .. saat itu pula saya memancang tekad, saya akan ke Duri empat sampai enam kali setahun. Minimal sekali tiga bulan.

Mama tampak ringan. Karena memang ia senang saya pulang. Setiap pulang… saya tak langsung ambil tiket balik atau pulang…

Biasanya saya tanya mood mama dulu. “Serasa mimpi kalau waang cuma 2 hari, ” begitu bahasa mama melarang atau menunda saya berangkat.

Bila sudah begitu saya tak mampu berangkat. Lebai. Mungkin iya.

Tapi begitulah mama saya. Saya anak pertama dengar empat adik semua perempuan.

Soale sekarang bukan bagaimana mama saya… tapi bagaimana saya memuliakan keinginannya.

Saya akan berkata: “Andai anda  mengerti pelukan mama  di usia saya empat tahun di sawah. Termasuk 42 tahun setelah itu..  anda juga akan meneteskan air mata,  apalagi anda ingat  ande atau ibu anda sendiri.. yang masih ada… atau yang sudah wafat. Apalagi.

Untuk mu berat

Biar saya saja.

Duh saya kutip tidak lengkap si Dilan.

(andi mulya, 12 Februari 2018)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *