logo mak-adang.com

In Memorium (1) Rahadi Zakaria MH

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     8/03/2023    Artikel   145 Views
In Memorium (1) Rahadi Zakaria MH

“Honor Menulis itu Darah dan Air Matamu.”

Oleh : Andi Mulya S.Pd., M.Si

Walau kini lebih dikenal sebagai anggota Dewan, namun bagi saya mas Rahadi–begitu saya memanggilnya–adalah atasan/senior di dunia wartawan sekaligus juga sahabat. Masih segar dalam ingatan saya Mas rahadi memerintah saya untuk segera meliput ketimpangan pembangunan Pulau Batam, sebagai ujicoba menjadi wartawan baru di Harian Pelita, Jakarta, pas lulus IKIP Padang, tahun 1995 silam. Waktu yang tidak pendek, karena hampir 20 tahun lalu.

Usai tamat kuliah, saya memang segera ingin bekerja. Menjadi guru, waktu itu bagi saya pilihan yang kurang bagus. Itu terkait dengan posisi saya anak sulung dan ingin membantu orang tua segera bekerja. Menjadi wartawan sungguh satu prestise, apalagi melalui Koran Kampus Ganto, saya mulai berkenalan dengan banyak wartawan di Sumbar, termasuk menulis untuk berbagai media di Jakarta.

Jadilah saya wartawan, atas saran Uda Achmad Gazali (Ag), koresponden Pelita di Sumbar, yang menyatakan Koran tersebut membutuhkan wartawan di Riau. Lalu, sesuai saran Uda Ag saya langsung menulis berita sebisa saya, tanpa menunggu surat  tugas atau diterima secara adminstratif. Dua pekan lamanya saya lakoni saran tersebut, dan memang akhirnya tidak satupun berita yang saya kirim dimuat.

Kemudian saya memberanikan diri menelpon Mas Rahadi, yang kala itu Redaktur Daerah.  Dengan lembut dan kata terpilih saya perkenalkan nama dan maksud menjadi wartawan. “Yah gimana.. “ tanyanya sangat menggelar. Saya merasa keok dengan suara di ujung telpon sana. “Anda tidak saya suruh menulis berita,  kalau anda minat jadi wartawan di Riau, siapkan liputan Batam, untuk laporan utama,” katanya.

Batam dalam bayangan saya bukanlah jarak yang dekat, Walau kala itu  masih masuk propinsi Riau. Namun saya menyanggupi tanpa bertanya lagi baik biaya maupun surat tugas, karena di Batam saat itu marak praktik wartawan ‘bodrek’ sehingga banyak pejabat sangat hati-hati menerima permintaan wawancara.

Mas Rahadi, saat itu saya kira benar-benar mengerjai saya sampai bisa atau menyerah. Namun saya membiasakan diri dengan tantangan. Prinsip saya kala itu bila mundur, maka peluang lain yang lebih baik tidak akan datang. Ternyata, morat marit berangkat ke Batam membawa saya pada pengalaman yang banyak. Soalnya saat itu diselenggarakan Rapat Kerja PWI Pusat, dalam rangka penyempurnaan AD/ ART.

Dengan sikap pandai mendekat, akhirnya saya bisa menumpang tidur di Nagoya Hotel, di kamar sekretariat panitia, yang juga dari PWI Riau. Saat itu tokoh-tokoh Pers nasional seperti Rosihan Anwar tampak hadir. Beberapa orang yang lain seperti Pak Parni  Hadi, Pemred Republika, dan wartawan Bola Sumahadi Marsis, serta Sekjen Wartawan Asean, sempat saya berdiskusi dan obrol yang enak.

Laporan saya tentang Batam turun  di laporan Utama Pelita setelah Mas Rahadi merombak dan memperbaiki tulisan itu. Namun enam bulan lamanya, entah mengapa surat tugas sebagai legitimasi wartawan,  tidak juga diberikan. Apalagi di Riau  yang kala itu termasuk  disorot soal wartawan yang memeras nara sumber.  Hubungan yang kuat dengan Mas Rahadi  lah yang membuat saya bertahan. Tapi saya sabar karena ada yang memberi pemahaman tanpa surat tugas pun seorang wartawan tetap bisa menulis berita. Justru surat tugas yang diberikan secara ‘obral’ malah menjadi ‘muntaber’  yakni singkatan dari muncul tanpa berita.

Lelah dibawah bimbingan Mas Rahadi akhirnya terobati. Saat di Riau digelar MTQ Wartawan Asean, Mas  Rahadi mengagetkan saya karena menelpon langsung ke hotel di kamar saya dan wartawan Pelita dari Bengkulu menginap. Saat itu Mas Rahadi akan datang ke Pekan Baru ikut rombongan Pengurus Golkar, yakni mantan Menpora,  Abdul Gafur, yang juga pimpinan di Harian Pelita.

Saya kaget saat pertama bertemu, ternyata Mas Rahadi berwajah lembut dan lunak. Tidak seperti terbayang sebelumnya saat saya menelpon dengan suara keras dan tegasnya, sebagai bawahan saya kadang tergagap  menjawabnya. Mas Rahadi pun mengakui nada (tone) suaranya sangat tinggi dan dipersepsikan orang keras saat ditelpon.

Bersama Mas Rahadi, yang tidak terlupakan adalah hidangan ketan dan durian di pinggir jalan Simpang Tiga. Itu kami nikmati sore hari di sela-sela acara MTQ Wartawan. Mas Rahadi pula yang membeck up saya pada satu malam karena motor saya selalu dimata-matai intel dari Kodim. Ternyata masalahnya karena sebagai pemandu tamu luar negeri, saya terlalu akrab dengan wartawan asal Vietnam. Bahkan karena senangnya, ia berkeliling dengan motor  saya ke sudut-sudut kota Pekanbaru.

Mas Rahadi lebih duluan menyapa intel tersebut, berkenalan, dan kemudian dengan caranya terbukalah cerita bahwa saya sudah diikuti kemana pun selama MTQ Asean berlangsung. Saya takzim karena Mas Rahadi  meminta saya berkenalan dengan intel tersebut. Kemudian beberapa saat saya suka pula berkunjung ke rumah yang bersangkutan, dengan motivasi ingin mengetahui lebih cara dan kerja dunia inteligen.

Profil Mas Rahadi benar-benar saya kenal utuh saat berkunjung ke Jakarta, sekitar awal 1995. Bila jam deadline tiba, dua halaman berita daerah Harian Pelita dia edit sendiri.  Tangannya  bergerak cepat menekan keyboard komputer burulang-ulang, dan tampak sangat tegang, mengejar semua berita cukup pengisi halaman. Namun Mas Rahadi tampak masih tenang, dan nyaris tidak pernah marah atau berkata  keras apalagi kasar, tampaknya kepada semua bukan hanya saya dari daerah yang juga bawahannya.

Saya tahu ia sangat stress, bahkan pernah pula ia meminta saya memuat satu surat pembaca karena tidak ada kiriman dari pembaca. Sebagai pengisi halaman, surat pembaca itu bercerita keprihatinan tentang suksesi Gubernur Riau. Nama dan alamat tertulis dibawahnya ada pada redaksi. Usai tanggung- jawab halaman itu, malam sudah larut. Mas Rahadi  pernah mengajak saya bermalam di rumahnya. Kereta terakhir, sekitar 22:30 malam dari Tanah Abang melewati Stasiun Sudirman menuju Bogor. Dengan jas coklat pelawan rasa dingin, ia melangkah menaiki tangga stasiun itu. Rasa letih tampak dari gerak tubuhnya. Saya sempat mengikuti irama kerja redaksi beberapa hari Kantor Pelita di Jalan Blora, samping stasiun Kereta Api Soedirman itu.

 

Selalu Ditraktir

Beberapa hari di Jakarta, akhirnya proses permintaan gaji atau honor tulisan saya dikeluarkan oleh Pelita. Saat itu berkembang pameo gaji tetap akan dibayar, tapi memang kadang harus terlambat. Sesama rekan memberikan tamsil yang sangat beragam tentang kondisi Pelita saat itu. Namun dalam keadaan itu pula Mas Rahadi loyal dan saya banyak belajar.

Sebagai  wartawan dengan Koran yang terbit di Jakarta,  saya tertolong terutama untuk menumpang nama baik, karena dari tempat ini saya menemukan banyak pengalaman, teman, dan jaringan ke berbagai narasumber. Jadi walau terlambat honorarium dikirim, saya mengandalkan pendapatan dari dosen di Pekanbaru. Itu pula sebabnya saya menunggu Mas Rahadi  untuk makan keluar, di sela-sela deadlinenya.

Tapi ia tampak ‘dingin’ dan meminta saya makan duluan mencari makan sendiri di samping  kantor.  Akhirnya, setelah saya makan, saya melihatnya muncul dari bawah ke lantai tiga, dengan mulut komat kamit, seperti baru saja usai makan. Setelah agak tenang, saya pun bertanya mengapa Mas Rahadi tidak mau makan bersama saya. Intinya ternyata dia tidak mau makan dari honor tulisan yang sejatinya hak saya yang halal. “Honor tulisan itu darah dan air matamu, Andi,” katanya, masih terngiang hingga kini.

Hampir dua puluh tahun kemudian, saya berjumpa Mas Rahadi di Pujasera DPR-RI. Malam itu sangat ramai karena pembahasan UUD PIlkada Langsung sedang jeda. Semua bangku makan penuh terisi. Saat duduk di arah Barat, selintas saya melihat Mas Rahadi, dan mempersilahkannya duduk di bangku samping saya, dan menunggu agar makanan biar saya yang memesan ke kedai yang dituju atau disukai Mas Rahadi.

Saat itu saat itu pula teman baik saya Asep Kamaluddin menyalami Mas Rahadi, dan mengingatkan pernah menjadi peserta pelatihan jurnalistik yang diajar lelaki kelahiran 13 Februari 61 tahun lalu itu. Saat makan Mas Rahadi berjanji akan membantu saya memasarkan jasa editor ke departemen, BUMN dan pemerintah daerah yang telah saya geluti. “Kita harus terus bekerja keras,” katanya, sambil mengaku tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR-RI, dari PDIP pada periode 2014-2019 ini.

Pas dua minggu berlalu, pada Kamis (9/10) lalu, saya terpaku membaca Facebook Yeffi Rahmawati, mantan secretariat redaksi Pelita, bahwa Mas Rahadi berpulang, pada pukul 15.00 di Semarang sehari sebelumnya. Pagi itu jenazahnya akan dibawa ke Depok II, rumah yang ditempati selama menjadi anggota DPR-RI.

Pukul 11.30, Yosep Umarhadi, anggota DPR-RI  memberikan kata sambutan atas nama DPP PDI-Perjuangan. Banyak kesan Yosep yang juga mantan wartawan Kompas  itu berjuang bersama Mas Rahadi. Satu hal yang perlu dicatat adalah pengakuan (alm) Taufik Kiemas bahwa Rahadi Zakaria adalah salah satu perintis berdirinya partai yang kini bernama PDI-Perjuangan itu. “Kamu harus mengingatkan kamu adalah perintis partai yang kini bernama PDI-Perjuangan, dengan perjuangan yang tak kenal lelah,” kata Taufik Kiemas seperti ditirukan Yosep.

Hal itu dikatakan Taufik Kiemas sbeelum wafat dalam rangka wawancara penulisan buku. Salah satu dari hasil wawancara tentang sejarah PDI-Perjuangan, kata Yosep, dalam proses penerbitan. ”Saya ini menjadi saksi bahwa kami berjuang tidak pernah berpisah,” ucap Yosep lagi.

Ucapan senada diungkapkan oleh Dusi Kiemas, usai sholat jenazah : “Saya menjadi saksi bahwa Rahadi Zakaria adalah yang jujur dan bersih, bahkan ibu saya pernah berkata, bila abang saya Taufik Kiemas marah kepada Rahadi, bilang ke Ibu untuk menegur (memarahi) bang Taufik,”  katanya.

Usai pemakaman, saya makan siang di lenteng Agung. Saya teringat beberapa kali saat berjumpa dan makan bersama di Pujasera,  karena mas Rahadi tampak jarang makan di ruang khusus “Anggota DPR-RI” di Cafetaria gedung Nusantara II.

Duduk bersama dan saya minum jus, karena baru usai makan,  itulah traktiran terakhir mas Rahadi. Selamat jalan KH Rahadi Zakaria MH. Selamat jalan guru dan juga sahabat. Nama baik semoga jadi amalmu. “Sorga senantiasa  menantimu,” seperti ucapan sambutan saat melepasmu dari rumah duka. ***

JAkarta 11 Oktober 2014.

sumber foto: wikipedia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *