Oleh : Andi Mulya
Penulis Ensiklopedia Olahraga Indonesia
Boleh dikatakan sejarah olahraga Indonesia sudah ada jauh sebelum kemerdekaan dicetuskan pada 17 Agustus 1945. Ada beberapa fakta dimana olahraga menjadi cara anak bangsa menunjukkan eksistensi sebagai bangsa yang merdeka. Kendati saat itu kemerdekaan belum tercapai.
Para pendiri bangsa (founding father) saat itu masih berjuang dari panggung ke panggung, dari kota ke desa membakar semangat rakyat. Juga dari penjara ke penjara, karena diputus bersalah oleh penjajah Belanda.
Sebagaimana perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata di masa revolusi fisik, olahraga menjadi alat perlawanan atas penjajahan. Lima belas tahun setelah Boedi Oetomo berdiri 1908, berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) 1923, yakni cikal bakal klub Persib sekarang.
Ini pula yang kemudian membakar semangat daerah lain mendirikan klub sepak bola. Akhirnya, pada 19 April 1930 sejumlah klub itu memprakarsai kompetisi (Mulya: Ensiklopedia Olahraga Indonesia, 2001:956).
Pesertanya adalah VIJ (Jakarta), SIVB (Surabaya), MIVB (PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun, CCB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta). Kompetisi nasional pertama berlangsung 1933, walau semuanya klub itu masih dengan nama-nama Belanda.
Bahkan di Surabaya jelas-jelas ada Soerabaiasche Voetbal Indonesische Bond (SIVB) yang semua pemainnya pribumi. Sementara Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB) yang pemainya orang Belanda yang ada di kota tersebut. Demikian pula ketika PSSI berdiri, Belanda membentuk pesaingnya bernama Nedherlandsch Indish Voetbal Unie (NIVU).
Dari sejarah tersebut terlihatlah penjajahan seiring dengan ketidak-bebasan dalam berolahraga, termasuk menggunakan nama negara sebagai peserta kejuaraan. Hal itu dirasakan oleh siswa Sekolah Rakyat (SD) awal tahun 1940-an di Bukittinggi, misalnya. Kolam renang hanya diperuntukkan oleh bangsa kulit putih saja. Di kolam renang pula penghinaan terjadi. Pasalnya, di pintu masuk tertulis : “Anjing dan priboemi dilarang masuk.”
Seteleh merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia ditolak ikut Olimpiade XIV di London, tahun 1948. Pasalnya, Komite Olahraga Internasional (OIC) belum mengakui, seiring pula belum adanya pengakuan bagi Indonesia sebagai negara berdaulat.
Lepas penjajahan Belanda, Jepang juga ‘mengolah’ dalam arti mengendalikan olahraga Indonesia. Mereka kuatir perkumpulan para pemain dan penonton menjadi mobilisasi yang berbahaya. Jepang mendirikan klub penjinak pesepak bola nasional dengan mendirikan Rengo Tai Iku Kai.
Setelah merdeka, Indonesia di bawah Bung Karno membangun karakter bangsa dengan olahraga. Proyek mercusuar termasuk gelora Bung Karno dibangun. Pada 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Iven yang sama setelah 56 tahun dilaksanakan di Jakarta dan Pelembang 18 Agustus- 3 September 2018 ini.
Di Stadion Utama Bung Karno pula terjadi peristiwa politik olahraga tingkat tinggi. Indonesia menolak Taiwan dan Israel mengikuti Asian Games ke 4 dengan alasan simpati kepada RRC dan negara-negara Arab. Kendati keduanya sudah menjadi anggota PBB.
Asian Games Ke 4 dipertanyakan, dan kemudian Indonesia pun diskor mengikuti Olympiade di Tokyo 1964. Tapi Bung Karno bersisukuh bahwa olahraga tidak bisa dipisahkan dari politik. Sukses Asian Games mendorong Presiden RI pertama menggelar Games of News Emerging Forces (Ganefo). Sesuai mottonya Maju Terus, Jangan Mundur (Onward’ No Retreat) Ganefo 1963 sukses walai diboikot negera Barat.
Perjuangan dan perlawanan itulah inti dari olahraga secara sosiologis dan historis. Sebagaimana perjuangan memerdekakan negeri dari penjajahan. Begitu pula mengibarkan bendera Merah Putih di setiap panggung dan kejuaraan.
Merah putih berkibar, lalu lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Air mata atlet dan pelatih berjatuhan. Tidak ada teriakan merdekaaa. Tapi itulah kemerdekaan sesungguhnya, yakni nama Indonesia tidak sekadar disebut, tapi dinyanyikan dengan riang gembira. Juga penuh syukur.
Nama Indonesia itu pula yang tidak boleh disebut-sebut oleh Belanda dulu. Prof. Bernard H. M Vlekke dalam bukunya: Nusantra: a History of Indonesia (1943: 340) menyebut nama Indonesia muncul dan dipakai publik sejak 1884. “but it was heartily dislike by the Netherlands government who refused to sanction its use until 1945.”
Merdeka.
JAkarta, 16 Agustus 2018.