Ini artikel bertarikh Jakarta, 27 Juni 2008. Mak-Adang.com menmuatnya berhubung sejak reformasi 1998, demontrasi adalah ‘lagu wajib’ dari kehidupan sosial kita. Ada dampaknya bagi Polri, di tengah mereka di tahun-tahun ini akan berpisah dengan TNI. Melalui UU NO 2 Tahun 2002, atau tiga tahun usai reformasi, Polri resmi menjadi institusi di bawah Presiden.
Berikut tentang demo anarkhis: salah satu yang dihadapi Polri dalam proses pendewasaannya. Selamat membaca. ***
Oleh : Soeharno Panca Atmaja
Anggota Komisi III DPR-RI dari FKB
Demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM berakhir dengan anarkis. Seakan ini menjadi kado bagi HUT Polri yang jatuh pada 1 Juli 2008 ini. Mengapa disebut ‘Kado’ dalam arti kata ‘hadiah khusus?’ Karena dalam kasus itu Polri telah berhasil menjalani proses pembelajaran yang sangat matang dalam menangani demonstrasi mahasiswa khususnya dan aksi massa umumnya.
Dalam aksi pembakaran di Atmajaya, telah menghapus keraguan publik bahwa Polisi tidak mampu menghadapi kerumunan mahasiswa yang kini menuntut balas atas kematian rekan mereka di Unas. Dengan kerumunan yang sedemikian besar, toh Polisi telah tampak matang dan berhasil mengendalikan aksi tersebut dengan korban yang minim.
Malah yang terjadi kini sebaliknya, Polisi menjadi korban dari tekanan dan serangan yang dilakukan pendemo tersebut. Imbalannya kini terjadi opini yang yang seimbang bahwa mahasiswa, polisi, dan rakyat, adalah pihak yang pro demokrasi, pro kepentingan rakyat, dan yang lebih penting taat pada hukum.
Kini momentum perubahan justru harus bergumul di lingkungan mahasiswa sendiri. Pertama bagaimana demo mereka murni tanpa ditunggangi pihak lain. Kedua, bagaimana aspirasi yang disampaikan tidak menimbulkan masalah baru, apalagi kekerasan dan tindak anarkis. Ketiga, bagaimana demonstrasi tidak sekadar mendorong rakyat melawan terhadap situasi ekonomi yang sulit, melainkan mendorong mereka bangkit, sehingga situasi keamanan nasional lebih kondusif, dan hasil-hasil pembangunan yang telah ada tidak porak-poranda seperti kasus kejatuhan mantan Presiden Soeharto, pada Mei 1998.
Terkait dengan itu, sangat penting membedah tentang profesionalisme polisi dalam demo anarkis mahasiswa.
Teori Kerumunan
Bila bersandar pada teori ilmu kepolisian, maka demo yang anarkis oleh mahasiswa di depan gedung DPR-RI dua pekan lalu itu, bisa diurai dengan teori kerumunan massa.
Cox dan Flitxgerald dalam Bailey (2005: 220) membagi dua tipe kerumunan yakni spontan dan terstruktur. Berdasarkan studi, kedua tipe itu dibedakan atas dasar orientasi tindakan, stabilitas, kesadaran kelompok, intensitas emosional, durasi, dan kecenderungan untuk menyulitkan polisi.
Bila dilihat dari kerumunan massa berwujud demonstrasi mahasiswa, menurut hemat penulis, maka dapat dikatakan kerumunan tersebut bukan spontan, melainkan terstruktur. Hal ini dibuktikan adanya kumpulan yang jelas ciri-ciri dan atributnya, yakni bendera kampus atau organisasi mereka, baju/jaket dan aksesoris lain. Demikian pula adanya misi kelompok yang disuarakan yakni menolak kenaikan harga BBM.
Menurut Cox dan Flitxgerald, kerumunan terstruktur seperti demonstrasi mahasiswa ini ciri-cirinya adalah orientasi tindakannya rendah sampai tinggi, stabilitas keanggotannya/partisipasi sedang hingga sangat tinggi, kesadaran diri sebagai anggota kelompok tinggi, intensitas emosional sedang hingga tinggi, durasi keterlibatan lama, kesulitan polisi terjadi kadang-kadang saja.
Berbeda dengan kerumunan struktural, kerumunan spontan mempunyai risiko yang jauh lebih kecil dan kualitas maupun kuantitas potensi rusuh yang kecil malah relatif rendah dan nihil, juga dengan durasi yang kecil.
Bila diikuti melalui berbagai liputan berita TV tiga hari pasca rusuh di kampus Atmajaya, membenarkan ciri-ciri teori Cox. Massa mahasiswa mempunyai tingkat anarkis mulai dari rendah sampai tinggi baik orientasi, kesadaran, emosional, dan malah sangat tinggi stabilitas kelompoknya.
Awalnya, waktu berkumpul dan menginap di DPR-RI Senin petang, massa mahasiswa tidak anarkis. Tapi keesokan hari, setelah durasi agak lama, dan jumlah massa mahasiswa makin besar, maka bibit-bibit anarkis mulai tumbuh. Bila pada saat itu Polisi menghadapi dengan kekerasan, artinya tidak profesional, maka massa mahasiswa mudah terseret bentrok yang besar dengan korban yang besar pula.
Pada awalnya demo sejak petang hari, yakni Senin tidak terdapat tanda-tanda kekerasan. Namun, sesuai sifatnya, kerumunan mahasiswa telah berdurasi lama. Apalagi terbukti bahwa koordinator aksi mahasiswa mengakui sejumlah rekan mereka telah bergerak dari berbagai lokasi ”mengepung’ DPR-RI. Mereka berasal dari berbagai propinsi lain di luar Jakarta, sebagai solidaritas atas rekan mereka yag tewas dalam kasus Unas.
Polisi berhasil menangani demo sejak pagi hari, walau jumlah mahasiswa mencapai 5000-an orang. Terbukti Polisi telah bertindak profesional dan proporsional, sehingga masalah HAM yang dibidikkan kepada Polisi seperti kasus Unas, tidak terjadi. Malah sebaliknya, Polisilah yang menjadi korban karena mereka bertahan terhadap berbagai ’tekanan’ pendemo.
Di sini pula, kerumunan terstruktur menemui ciri-cirinya, bahwa pendemo melampiaskan kemarahan berupa perusakan kendaraan milik kepolisian dan mobil plat merah sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Satu mobil Avanza itu dibakar di depan kampus Atmajaya, sedangkan yang lainnya dirusak.
Bila mengikuti hasil penelitian Cox, mengenali berbagai macam/tipe kerusuhan dan mengakui berbagai macam tanda peringatan akan menolong polisi meningkatkan kinerja mengamankan kerumunan massa berwujud demontrasi mahasiswa ini. Tapi, toh, seperti juga diformulasikan oleh Cox, kerumunan ini hanya kadang-kadang saja menimbulkan kesulitan dalam tugas kepolisian.
Oleh sebab itu perlu untuk direnungkan kesimpulan berikut ini. ”Meski peran polisi dalam menghadapi kerumunan massa telah banyak dibicarakan. Namun kerumunan yang melakukan kekerasan secara aktual sering mendapatkan polisi yang kebanyakan tidak waspada, dan penanganan mereka belum maksimal. (1987: 223).”
Jadi, bila belajar dari aksi mahasiswa sebulan terakhir ini, didasarkan pada konsep kerumunan massa, maka polisi dapat dikatakan makin profesional. Pasalnya, cerita akan menjadi lain, bila kualitas penanganan di depan gedung DPR, sama dengan di Unas. Protap bisa sama, tapi profesionalisme makin membaik.
Itu berarti bahwa kerumunan massa di berbagai daerah perlu merujuk pada penanganan demontrasi mahasiswa di DPR-RI dan kampus Atmajaya tersebut. Apalagi pada Jumat (27/6) Kapolda se-Indonesia menandatangani komitmen untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Penandatanganan kesepakatan itu dilakukan antara para Kapolda–yang diwakili Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol. Adang Firman–dan Kapolri Jenderal Sutanto dan disaksikan langsung oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Itu berarti, menurut hemat penulis, berawal dari Unas dan DPR-RI, diharapkan tidak ada lagi jatuh korban dalam penanganan kerumunan massa. Dengan polisi yang peduli HAM, diharapkan masyarakat semakin jauh dari anarkisme. Semoga. ***