logo mak-adang.com

Ilmu Kepolisian (2): Membangun Kepercayaan Kampus terhadap Polisi.

 Dr. Andi Mulya, S.Pd., M.Si.     11/03/2023    Manajemen Keamanan   173 Views

Mak-Adang.com memuat  lagi artikel  yang pernah dimuat media nasional di Jakarta, 30 Mei 2008. Selamat membaca.*

Oleh : Soeharno Panca Atmaja

Anggota Komisi III DPR-RI  dari FKB

 

Peristiwa Sabtu kelabu di Unas, menjadi ‘kado’ Polri  menjelang Hari Bhayangkara  tak lebih sebulan lagi pada 1 Juli 2008 mendatang. Kado dalam tanda kutip yakni  peluang Polri makin mendewasakan diri, di tengah berbagai gejolak  bangsa baik menghadapi kenaikan BBM khususnya, dan menghadapi Pemilu 2009 umumnya.

Terhitung sejak  1998, atau 10 tahun reformasi bergulir,  perhatian terhadap Polri lebih didominasi oleh isu miring saja. Isu itu misalnya masalah korupsi Polisi, buruknya kinerja, lambannya pelayanan kepada masyarakat, dan  disersi dan kriminilitas anggota Polri yang meningkat.

Terkait dengan kasus Unas, banyak pengamat hanya mengupas dari  sisi politis dan dampak kerusakan serta tindak kriminal yang menyertainya. Dari sisi ini menurut hemat saya, perdebatan tentang Polisi dan mahasiswa yang menjadi pelaku sekaligus korban karena tindakan berlebihan,  akan menguap—sia-sia saja.

Itulah sebabnya, saya mencoba melihat dari pendekatan konseptual yang menfasilitasi kehidupan kampus yang memperjuangkan nasib rakyat  terkait kenaikan BBM, dan  Polisi yang berperan melindungi dan mengamankan  seluruh lapisan masyarakat.

Dalam momentum ini,  berkaca dari  sejarah tumbangnya Orde Baru yang dipicu oleh kenaikan BBM, dan meluasnya demo mahasiswa tahun 1998, maka layak dipertimbangkan agar Polisi berupaya membangun kepercayaan masyarakat kampus.

Logikanya, bila aspirasi  anti BBM meluas, dan Polisi berkutat pada paradigma lama, bahwa setiap masalah harus ‘diamankan’ maka betapa banyak bentrokan akan terjadi antara mahasiswa dan Polisi. Pada titik tertentu, seperti 1998, Polisi gagal mengendalikan keamanan yang kemudian berdampak sangat buruk terhadap masyarakat dan jalannya demokrasi.

Konsep yang cocok untuk pendekatan kehidupan kampus tersebut menurut saya adalah Polisi Kampus (campus police). Polisi kampus  dari sejarah awalnya di Universitas Yale, AS, tahun 1894 adalah bentuk kreatif dari pengamanan kampus, karena arealnya yang sangat luas.

Polisi AS sendiri menyadari bahwa ratusan hektar kampus yang ibarat kota kecil, mempunyai  dinamika yang tinggi, tidak terkecuali terhadap aspek keamanan.   Apalagi dengan beragam kejahatan dan ketidak-tertiban di kampus, sehingga pimpinan universitas menyusun pola pengamanan dengan melibatkan Polisi wilayah, namun berorientasi pada kehidupan masyarakat kampus.

Di tanah air kita,  baik polisi apalagi masyarakat luas, masih awam tentang Polisi Kampus. Padahal,  di sejumlah kampus sudah layak untk mengembangkan polisi  kampus ini karena arealnya yang luas, aktivitas kampus yang sampai malam hari, bahkan ada perpustakaan yang buka 24 jam. Ditambah lagi dengan banyaknya kejadian mulai dari kejahatan ringan, pencurian dengan kekerasan, dan pembunuhan terhadap mahasiswa dan warga kampus.

Apalagi dengan adanya peristiwa Unas, terasa bahwa Polri harus berupaya menjadikan institusi yang dipercaya oleh mahasiswa dan masyarakat umumnya. Laporan kedua pihak, baik versi  mahasiswa  maupun versi Polisi, teramati saling bertentangan.

Hal ini menunjukan bahwa Polisi dan Mahasiswa berada pada dua posisi yang saling berhadapan, dalam arti saling menjatuhkan.  Itulah sebabnya, Kapolri menyatakan bahwa tindakan aparat sesuai  prosedur, sedangkan mahasiswa beranggapan tindakan tersebut berlebihan, dalam arti tidak profesional.

Dari banyak kasus demontrasi  baik skala besar, menengah dan kecil, saya mengamati, bahwa  keberhasilan penanganannya tidak sekadar bersandar pada prosedur tetap (protap) yang selama ini menjadi acuan  dan justifikasi. Melainkan setiap tindakan diambil sangat situasional, malah kompromistis.

Apalagi dalam keadaan yang genting,  dan kedua pihak terlibat pemaksaan kehendak dan bertindak sesuai dengan kemauan dan birahi marahnya masing-masing, maka pada akhirnya  akan berakhir bentrok dan akibatnya menimbulkan korban yang besar.

Itulah sebabnya, konsep Polisi Kampus harus dimulai untuk disosialisasikan kepada publik termasuk kepada pihak pemerintah dan Polri sendiri. Sesuai dengan kondisi sosiologis dan psikologis bangsa kita saat ini, ada beberapa alasan mendasar perlunya menerapkan polisi kampus.

Pertama, mahasiswa terbukti mempunyai kekuatan massa yang mampu membawa perubahan sosial dan politik. Sebagai suatu proses sosial,  demontrasi tidak serta merta berjalan mulus. Mahasiswa yang gugur di kampus, yang menunjukan senantiasa terjadi benturan massa mahasiswa dan Polri, baik dalam sejarah tumbangnya orde lama dan orde baru.

Kedua,  untuk penataan kota dan lingkungan kampus yang representatif, pemerintah mengalokasikan kawasan yang luas dan sebagian jauh dari pusat kota.  Akibatnya lingkungan kampus dan masyarakat sekitarnya berkembang sebagai pertumbuhan kota baru. Hal itu dibarengi dengan masalah sosial dan kriminalitas. Contoh paling aktual dialami oleh kampus Universitas Indonesia, di Depok, dimana terjadi kejahatan ringan dan berat, termasuk pencurian laptop yang pernah meresahkan mahasiswa dan pengunjung kampus.

Ketiga, Polisi kampus akan memberikan pelayanan yang optimal kepada mahasiswa dan masyarakatnya. Lain dari itu, kesamaan persepsi antara mahasiswa dan Polisi akan lebih terbangun, karena pelayanan dirasakan oleh mahasiswa dimana Polisi menjadi bagian dari kehidupan kampus. Sejalan dengan itu, tidak ada alasan bahwa kampus adalah otonom yang tidak bisa tersentuh Polisi sebagaimana dipahami masyarakat kita.

Satu misi yang perlu didorong dalam menerapkan Polisi kampus ini adalah mahasiswa makin terlayani keamanannya, Polisi juga makin profesional mengatasi masalah kampus.  Kedua pihak perlu menyusun kurikulum masing-masing agar mereka tidak diposisikan pada kutub yang saling berseberangan seperti sekarang. Semoga  ***

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *