Oleh : Andi Mulya
Alumni S3 Universitas Negeri Jakarta.
Mak-adang.com , JAKARTA.
Sejak awal pencalonan Pilkada terbaca bahwa Tanah Datar salah satu persaingan yang sengit bagi petahana. Eka Putra sang bupati berpisah jalan dengan wakilnya yang senagari asal dengan saya. Pada awalnya saya beranggapan ia akan kalah.
Saya percaya ucapan satu teman yang mengatakan semua petahana Bupati Walikota dan Gubernur akan menang, kecuali Tanah Datar. Banyak alasan Eka Putra bisa kalah. Misalnya, Richi didukung oleh modal sosial, dan finansial dari keluarga besarnya. Nagari Rao-Rao selama ini dikenal dengan perantau yang militan untuk kampung halaman.
Namun kini pemilihan sudah berakhir. Kemenangan berpihak kepada pasangan nomor dua: Eka Putra dan Ahmad Fadly wakilnya.
Kompas.com pada Sabtu (7/12) lalu menulis hasil rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tanah Datar. Eka-Fadly memperoleh 85.692 suara. Sedangkan Richi Donny meraih 77.595 suara.
Lihai.
Mengapa Eka Putra bisa menang? Saya kira karena lihai dan licinnya sebagai politisi. Ini agaknya menarik.
Eka Putra memiliki beberapa kelebihan. Pertama memiliki jejak karir politik di Partai Demokrat. Selaku wakil bendahara di DPP dari tokoh yang tidak punya jalur keluarga kaya atau politisi terkenal. Kelebihan ini yang mungkin membuat PD (=percaya diri) mencalonkan diri menjadi Bupati, lima tahun lalu, meski sesama pemain baru (non-incumbent) dengan Richi kala itu.
Kedua, Eka Putra mampu ‘memanfaatkan’ selama menjabat semua perangkat di bawahnya, baik dinas-dinas dan OPD, ASN, bahkan calon pegawai kontrak yang akan diangkat di masanya.
Dalam hal bantuan, seperti infrastruktur, alat pertanian juga dia upayakan berjalan seiring dengan momentum pemilihan.
Memanfaatkan (dalam tanda kutip ini) adalah sah karena keuntungan bagi setiap petahana dimanapun yang ada. Adalah sah karena jabatan itu melekat pada dirinya, dan menjadi sah sepanjang tidak terbukti di pengadilan penyelenggara Pilkada.
Seiring dengan itu, Richi selaku wakil bupati tidak memperoleh/memberi ruang yang cukup untuk mengakses berbagai sumber daya, baik SDM maupun anggaran.
Ketiga, terlepas dari asalnya di Lintau, yang umumnya Bupati berasal dari sini, Eka Putra selaku politisi mampu menyusup ke kandang lawan. Alhasil marak yang dibicarakan usai Pilkada, ia mampu merebut suara Richi di Tarantang Sayang (Tanjung Baru, Salimpaung, Sungai Tarab dan Sungayang). Singkatan yang populer sebagai perlawanan untuk memenangkan pimpinan Tanah Datar di luar Lintau.
Jadi terkait dukungan suara, Eka Putra berhasil membuat suaranya hampir bulat di kampung halamannya, Lintau dan sekitarnya.
Sementara Fadly yang merupakan anak politisi senior, Syamsuir Syam, sangat berpengaruh menggenjot suara pasangan ini. Fadly memang orang baru di dunia politik, tapi ketokohan Syamsuir Syam yang melekat pada dirinya punya nilai jual yang sangat tinggi.
Boleh dikatakan, pengaruh Syamsuir setara dengan Shadiq Pasadigoe. Sayangnya Shadiq gagal mendukung sebagai ketua pemenangan Pilkada bagi Richi menjelang pemilihan. Melalui surat resminya yang tersebar di media, Shadiq memberi alasan kurang sehat, baru dilantik, dan menjabat anggota DPR-RI, dan tidak bisa cuti.
Shadiq telah membuat kubu Eka Putra menggenggam tangan. Terbukti kemenangan Eka Putra sekira 3% itu diyakini terpompa oleh pengaruh di lumbung suara Shadiq. Artinya bila Shadiq all out mendukung pasangan nomor urut 1, Eka diperkirakan akan kalah.
Terkait merebut pengaruh Shadiq, itulah yang saya maksud lihai dn licinnya Eka Putra. Namun itu sah karena hubungan baik dan kekeluargaan bisa mengalahkan perbedaan pandangan dan pilihan politik.
Shadiq pun, dari sumber yang dipercaya, mengaku Eka Putra lebih intens belajar darinya di awal pemerintahan. Ia memberi tiga resep saja untuk sukses memimpin tanah datar. Pertama, benahi pemerintahan (internal ASN dan perangkat). Kedua, adil tanpa membedakan nagari. Dan ketiga, tingkatkan kesejahteraan.
Resep ini ternyata efektif, sehingga tampak untuk memenangkan kontestasi, ia tidak perlu ‘berdarah-darah.’ Itu pula penjelasannya, mengapa di pusat suara pasangan nomor urut 1, terdapat pemilih Eka-Fadly, yang membuat geram sesama warga karena sudah bertekad untuk memenangkan Richi.
Setara yang Sama.
Dilihat dari kepiawaiannya, Eka Putra dapat disetarakan ketokohannya dengan Shadiq Pasadigoe yang juga menjabat dua periode Bupati Tanah Datar. Karier politiknya jelas akan panjang. Masa pemerintahannya akan mencapai lima tahun, bila ia sehat dan berumur panjang. Juga tidak mengenal pesakitan KPK, yang marak hingga kini kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT). Semoga tidak.
Serupa dengan Shadiq, Eka Putra diharapkan berlaku adil dalam memeratakan pembangunan, termasuk untuk wilayah Tarantang Sayang, yang selama ini direpresentasi oleh Richi. Pemerataan yang tidak muluk-muluk, misalnya, janjinya akan memperbaiki jalan nasional dari Batusangkar – Piladang, Payakumbuh. Hal itu pernah diucapkannya menjelang kampanye tempo hari.
Secara pilihan politik, Eka Putra tidak dapat memandang berbeda terhadap nagari-nagari di Tarantang Sayang. Toh ini jabatan terakhir sebagai Bupati. Namun saya yakini ia tidak berubah, seperti nasehat sekaligus amanat Shadiq kepadanya.
Shadiq sendiri awal dilantik di depan warga Ikrar di Jakarta akan ikhlas dengan perbedaan di Pileg. “Saya tidak akan membedakan baik memilih maupun tidak memilih saya,” begitu katanya dalam Mak-adang.com saat itu.
Dengan demikian. Eka Putra benar-benar menjadi pewaris politik Shadiq.(***)
Tulisan yang menarik dan enak dibaca
Tulisan ini ringan. Tapi samgat mrnginspirasi. Pandangan penulis objektif. Tapi tajam dengan peringatan terhadap orang yang memegang kekuasaan, seperti di kabupatrn tanah datar ini….sukses salalu untuk karya2 jurnalistiknya pak Dr. Andi Mulya
Bisa nambah pengetahuan saya juga tentang Sumatra Barat, terimakasih Andi