Oleh: Andi Mulya
Wartawan Mak-Adang.com (Media-Keadilan Group).
Budaya 30 tahun lalu mahasiswa di Padang–Sumatera Barat–membawa bekal ‘samba’ dari kampung, kini berubah karena jasa pengiriman ekspres. Perubahan itu semakin masif karena terdapat efisiensi waktu dan tenaga, praktis, serta ekonomis.
Hal itu merupakan perbandingan pengalaman Handra (53), dan putrinya Ani (17) warga kota Bukittinggi. Handra (keduanya bukan nama sebenarnya), ayah dan anak kedua mahasiswa Universitas Andalas dari dua generasi berbeda. ‘Anak Sakola’ artinya anak sekolah adalah istilah untuk siswa atau mahasiswa/mahasiswi. Di masa Handra dulu, 1989-1994, salah satu komponen menghemat biaya hidup selama pendidikan adalah dengan membawa ‘samba’ yakni sebutan untuk lauk-pauk dalam bahasa Minangkabau.
Hal yang sama kini juga dilakukan Ani, putrinya, mahasiswa sastra Jepang di universitas yang sama. Bedanya kini terletak pada distribusi ‘samba’ dimaksud. Bila Handra dulu, membawanya setiap pulang kampung, dua pekan lalu lebih Padang-Bukittinggi. Kini Ani–generasi milenial–tidak perlu repot menjemputnya, melainkan ditunggu di asrama mahasiswa Universitas itu, tempat ia tinggal. “Paket… paket…” Begitu panggilan dari pengantar bila mengabarkan ‘samba’ tiba dari kampung.
Ekonomis
Setiap Ahad petang (lihat foto) Handra telah memaketkan ‘samba’ untuk Ani di Aur Kuning, Jalan Bypass Kota Bukittinggi. Jadi dalam sebulan ada empat kali Handra mengirim ‘samba’ untuk Ani. Setiap pekan pula, Lisa, ibu Ani memasak makanan kesukaan putrinya itu. Menu utamanya adalah ikan, seperti teri dan udang, dicampur salah satunya dengan tempe, tahu, kacang tanah atau keripik ubi. Di lain waktu ia memasak dendeng daging sapi, atau ikan tongkol balado.
Paling lambat pukul 21.00 wib, paket ‘samba’ itu harus diantar Handra ke JNE Bypass, pusatnya pengiriman ekspress ini di Bukittinggi.
Esok siang, ‘samba’ itu sudah bisa dimanfaatkan Ani, untuk makan siang dan makan malam. Khusus dendeng sapi dan ikan tongkol, Ani harus menghangatkan (=goreng ulang) terlebih dahulu agar ‘tahan’ (sebutan untuk awet) empat hari.
Dengan mengirim ‘samba’ sederhana itu, Handra bisa menghemat 20% sampai 30% biaya kuliah Ani yang kini menginjak semester 2.
“Bila dikirim samba, Ani harus ditranfer Rp 250.000 per pekan,” kata Handra awal pekan lalu. Sementara bila dikirimi ‘samba’ dari kampung, Ani cukup ditransfer biaya hidup di Padang Rp 150.000 per pekan.
Sementara ‘samba’ yang dimasak Lisa, Ibu Ani, rata-rata dimodali Rp 60.000 ditambah biaya kirim JNE Rp 11.000 per kg. Tarif itu berlaku untuk semua kota dan kabupaten di Sumatera Barat.
Praktis
Secara ekonomis dari Rp 1 juta biaya hidup Ani dan banyak mahasiswa di Padang, terdapat efisiensi 20% bila memanfaatkan jasa pengiriman JNE.
Angka itu yakni biaya sumber lauk pauk dan bumbu di kampung jauh lebih murah dibandingkan harga di kota Padang. Efisiensi menjadi 30-40% bila orang tua mahasiswa di Sumatera Barat seperti Handra, memiliki sendiri tanaman cabe dan bawang serta ikan dari ‘tebat’ sendiri.
Demikian pula bila dimasukan komponen transportasi dimana Padang- Kota Bukittinggi memerlukan biaya Rp 100.000 (pp) Akan menjadi dua kali lipatnya bila jaraknya lebih jauh seperti ke Solok Selatan, Pesisir Selatan, dan Pasaman.
Namun lebih dari sekadar ekonomis, pengiriman ekspres ‘samba’ untuk mahasiswa di Padang dari berbagai kampung halaman di Sumatera Barat telah menjadi budaya baru yang membuktikan efisiensi ekonomi karena pengiriman JNE cepat dan terpercaya, sekaligus murah. Seiring dengan itu dapat pula diasumsikan hal yang sama dialami mahasiswa di kampus lain di Sumatera Barat baik negeri dan swasta, termasuk sejumlah sekolah menengah seperti SMA dan SMK di Padang, sejak dulu banyak diisi oleh siswa dari berbagai daerah. Dan mereka tinggal dengan sebutan anak kos, bukan seperti sekolah berasrama (boarding) yang disediakan makan. (***)
#JNE32tahun,
#JNEBangkitBersama dan
#jnecontentcompetition2023
#ConnectingHappiness.
Mantaap