Mak-adang.com kembali hadir dengan memuat secara bersambung Novel 1 Mak Adang dari Nagari Keramat, setiap Jum’at pukul 07.00. Hal ini sebagai wujud rasa syukur di usia 53 tahun tepat pada 5 Januari 2024 ini.
Sebelumnya, pada 2015, Novel Mak Adang dari Nagari Keramat sudah pernah dimuat di media sosial (fb) kami tahun 2015. Akan tetapi 10 cerita terakhir hanya dimuat sinopsisnya saja. Beruntung kala itu, Novel ini sudah ada yang minat dan berkontribusi untuk biaya cetak sebelum naskahnya selesai. Seiring dengan itu kami mengucapkan terima kasih kepada sanak saudara, sahabat, guru dan semuanya atas perhatian yang luar biasa. Ucapan terima kasih tersebut akan kami muat di bagian lain, Selamat membaca. ***
Cerita 1 (h 1-3)
Di rumah kayu kediaman kami, di kampung, salah
satu kamarnya di tempati Mama Itu. Mama Itu
adalah panggilan saya pada Kakak Mama. Di
kamar tersebut, bersebelahan dengan kamar kami,
sejak kecil saya melihat peti besi, berwarna hitam,
dan sangat kokoh. Di sisi atas peti tersebut tertulis,
R. Azinar- New York.
Satu kesempatan yang baik, diiringi penasaran yang
tinggi, saya membuka peti itu. Satu foto terselip
dan memperlihatkan seorang yang berwajah tampan,
mengenakan kemeja panjang yang rapi. Di
tangannya tergenggam beberapa buku. Di balik
foto yang hitam putih itu, termuat tulisan tangan
halus kasar menceritakan lokasi dan kejadian di foto itu.
Sasuda iko: Novel 1 (Bag 2): SANG MAESTRO PENDIDIK KAMI
Itulah post card Mak Adang yang pertama kali saya temukan
di usia kecil, kelas 2 SD. Mak Adang menulis kepada Mak
Tuo, nenek saya, foto ke empat (4) begini:
“Ini adalah pembangkit tenaga listrik untuk daerah pertanian itu.
Sebagai dilihat di gambar 3, kami memakai bus spesial. Tempat
duduknja dapat ditidurkan sebagai di pesawat terbang dan mempunjai
alat pendingin udara. Satu bus hanja 20 orang. Biarpun
ketjepatannja rata2 90 Km per djam, di dalamnya dapat main tjatur
atau tidur dengan kaki gojang.
Di tangan an. dua buah buku jg dibeli tentang dam itu.”Foto itu saya perlihatkan kepada Mak Tuo. “Ini Mak
Adang, waktu di Amsterdam, Balando (Belanda), sekarang
ia di Medan. Waktu setahun di Amerika, dia rajin berkirim
surat dan foto, termasuk foto itu,” jelas Mak Tuo sambil
membawakan kacang rebus, dari dapur, yang sejak tadi ia
masak.
Enaknya kacang rebus dari sawah ladang sendiri, yang
tumbuh di kaki Gunung Marapi sangat mengundang selera.
Pas kacang rebus tercecah di lantai, seketika itu saya
meraihnya walau terasa panas. Saya duduk di dekat Mak
Tuo agar ia bercerita siapa Mak Adang. Rasa ingin tahu
yang lebih.
Kisah Surau Tuo (15): AJARAN UNGKU JAKFAR TENTANG SEDEKAH UNGKU ANGIN
“Nanti, cerita usai sholat magrib,” lanjutnya. Mak Tuo
kembali ke dapur. Asap dapur kayu makin tipis tanda sebentar
lagi Mak Tuo sudah selesai memasak. Petang itu,
seperti biasa Mak Tuo mandi ke pancuran, atau Sungai Jariang,
milik suku Piliang. Saya yang terbiasa main dulu sampai
Magrib buru-buru pula menyusul ke sungai. Cerita tentang
Mak Adang masih menggelayut.
Satu jam sebelum Magrib tiba. Saya sudah siap dengan kain
sarung kecil, dan peci untuk sholat berjamaah di rumah.
Mak tuo biasanya sudah memakai talakuang (mukenah),
dan telah duduk di atas sajadahnya dengan posisi menghadap
Kiblat. Tasbih sudah diurut sebagai hitungan zikir
di tangannya.
Waktu Magrib masih lama. Nun jauh dari Masjid Raya Rao-Rao, yang bermenara tinggi yang bergonjong empat, berbentuk atap rumah gadang itu, mulai terdengar bacaan Al-Qur’an. Alunannya sangat merdu, satu ayat demi satu ayat.
Minangkabau dan Perubahan (2): RELA LAPAR DEMI SEKOLAH, BEGITU NINIK MAMAK DULU
Setiap ayat diselingi dengan arti atau tafsirnya. Bacaan ayat seperti ini, masih akrab di telinga saya hingga pulang kampung di usia sekarang. Bila berjalan pergi mengaji, 10 menit sebelum masuk waktu Ashar, atau saat mengaji dimulai, maka permulaan bacaan ayat Al-Qur’an itu menjadi petanda saya harus berangkat mengaji. ***
3 thoughts on “Novel 1 (Bag 1): SANG MAESTRO PENDIDIK KAMI”